restorative justice = pengadilan alternatif
Pada prinsipnya, Restorative Justice merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian diluar pengadilan dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam persengketaan atau pidana.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar yang meliputi;
- Mengupayakan perdamaian diluar pengadilan oleh pelaku tindak pidana terhadap korban tindak pidana.
- Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya.
- Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.
Sehingga dapat diartikan bahwa Restorative Justice adalah suatu rangkaian proses penyelesaian masalah pidana diluar pengadilan yang bertujuan me-Restore ( memulihkan kembali) hubungan para pihak dan kerugian yang diderita oleh korban kejahatan.
Restorative Justice dalam ilmu hukum pidana harus bertujuan untuk memulihkan kembali keadaan seperti sebelum terjadi kejahatan. Ketika ada orang yang melakukan pelanggaran hukum maka keadaan akan menjadi berubah, sehingga disitulah peran Hukum untuk melindungi hak-hak setiap korban kejahatan.
Di dalam proses peradilan konvensional dikenal adanya Restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan Restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara para pihak korban dan pelaku. pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku, yang mana pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Kenapa hal ini menjadi penting?
Dikarenakan proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana, dalam hal ini pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, untuk berpartisipasi aktif melakukan mediasi/musyawarah dalam penyelesaian masalah mereka.
Setiap indikasi tindak pidana,tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan tetap terus digulirkan keranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi lagi. Semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment (penjatuhan sanksi pidana) tanpa melihat adanya Restorative Justice.
Sudah saatnya falsafah Restorative Justice menjadi pertimbangan dalam sistem pelaksanaan hukum pidana dan dimasukkan ke dalam Peraturan Perundang-undangan Hukum pidana (KUHP).Khususnya untuk delik pidana aduan (Klacht delict) agar penitikberatan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan perlakuan hukum terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana dapat tercapai dengan baik, tanpa harus selalu menggunakan sanksi pidana (hukuman penjara) yang mana pelaku tindak pidana sudah tidak lagi mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan.
Sekarang perlu adanya terobosan dalam pelaksanaan sistem pemidanaan di Indonesia sehingga tidak saja melalui hukuman penjara semata tapi juga melalui penerapan Restorative Justice.
Munculnya ide Restorative Justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan konflik sosial yang mana pihak yang terlibat dalam konflik tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.
Untuk dan atas alasan semua diatas, demi keadilan yang lebih berkeadilan dan memperhatikan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat, konsep Pengadilan Alternatif muncul dengan nama Pengadilan Alternatif Indonesia (PAI).